7 Wawasan Hukum Mengejutkan dari Seorang Pengacara yang Jarang Kita Dengar
Ada sebuah paradoks menarik tentang hukum: ia mengatur nyaris setiap aspek kehidupan kita, namun terasa begitu jauh dan rumit. Ketika mendengar kata “hukum”, benak kita sering kali melayang ke ruang sidang yang tegang, tumpukan berkas, dan pasal-pasal KUHP yang seolah hanya relevan bagi para profesional atau mereka yang tersandung masalah. Persepsi ini menciptakan jarak, seolah hukum adalah dunia lain yang tak tersentuh.
Namun, bagaimana jika persepsi itu keliru? Dalam sebuah perbincangan mendalam dengan Bapak Agus Anwar Pahutar, seorang advokat berpengalaman sekaligus akademisi, terungkap sebuah realitas yang berbeda. Hukum, menurutnya, bukanlah konsep abstrak yang menunggu di ujung masalah, melainkan kerangka yang melekat erat dalam keseharian kita, sejak napas pertama kita di dunia.
Artikel ini akan mengurai tujuh wawasan paling mengejutkan dari diskusi tersebut, membongkar mitos dan membuka sudut pandang baru. Bersiaplah melihat dunia hukum bukan sebagai sesuatu yang harus ditakuti, melainkan sebagai alat pemberdayaan yang jauh lebih dekat dari yang pernah Anda bayangkan.
1. Hukum Bukan Cuma di Pengadilan, tapi Dimulai Sejak Akta Kelahiran
Wawasan pertama ini langsung meruntuhkan anggapan bahwa hukum baru “aktif” saat terjadi kejahatan. Kenyataannya, hukum menyambut kita sejak lahir. Bapak Agus menyoroti bahwa dokumen legal pertama kita, seperti akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK), adalah produk hukum fundamental yang mendefinisikan identitas kita sebagai warga negara.
Bahkan dalam aktivitas paling trivial seperti jual beli di warung, prinsip hukum perdata sedang bekerja. Adanya penyerahan barang dan pembayaran adalah bentuk transaksi sah yang diatur oleh hukum. Ini membuktikan bahwa di mana pun ada interaksi sosial, hukum hadir sebagai fondasinya.
“…di mana ada masyarakat situ ada hukum…”
Prinsip yang diungkapkan Bapak Agus ini merupakan sebuah pilar dalam filsafat hukum, yang secara universal dikenal dengan adagium Latin: Ubi societas, ibi ius. Artinya, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.
2. Kasus Paling Umum Bukan Pembunuhan, tapi Perceraian dan Warisan
Berlawanan dengan citra dramatis di media, realitas di lapangan menunjukkan potret yang berbeda. Bapak Agus menyoroti fakta bahwa kasus yang paling sering ditangani pengacara di wilayah praktiknya (Tabagsel) bukanlah kejahatan sensasional, melainkan sengketa personal yang terjadi di ranah hukum keluarga.
Secara spesifik, kasus perceraian dan sengketa waris mendominasi perkara di Pengadilan Agama. Meskipun praktiknya tetap seimbang (balance) dengan penanganan kasus pidana seperti korupsi (tipikor) dan narkoba, tingginya volume kasus keluarga ini memberikan gambaran yang lebih realistis tentang denyut nadi persoalan hukum di tengah masyarakat.
3. Media Sosial: Pisau Bermata Dua yang Bisa Menjeratmu
Di era digital, media sosial sering kali berubah menjadi “pengadilan massa” yang menjatuhkan vonis bahkan sebelum palu hakim diketuk. Bapak Agus mengibaratkan fenomena ini layaknya “pisau bermata dua”. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat efektif untuk meningkatkan kesadaran hukum, namun di sisi lain, ia menyimpan bahaya besar yang sering diabaikan.
Opini publik yang digiring di media sosial kerap melanggar salah satu asas hukum paling fundamental: praduga tak bersalah (presumption of innocence). Menghakimi seseorang sebelum adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap bukan hanya tidak etis, tetapi juga berisiko. Sikap tidak bijak di dunia maya dapat menjerat kita pada UU ITE, di mana Pasal 27 dalam undang-undang terbaru (UU No. 1 Tahun 2024) mengancam pidana hingga 4 tahun penjara.
“Hati-hati gitu loh. Lebih bijaklah dan metsos itu ya kansus ini bagi saya menurut saya ya ini seperti dua mata uang atau dua mata bisa. Kalau kita enggak pandai-pandai ya kita bisa tenggelam di sana.”
4. Mahasiswa Hukum Tidak Wajib Hafal Pasal, tapi Wajib Paham Esensinya
Wawasan berikutnya menghancurkan stereotip yang telah lama melekat pada pendidikan hukum. Menurut Bapak Agus, seorang praktisi sekaligus akademisi, menjadi mahasiswa hukum bukan berarti harus menghafal seluruh isi kitab undang-undang seperti kamus berjalan.
Yang jauh lebih krusial adalah kemampuan untuk membedah dan memahami substansi serta unsur-unsur dalam sebuah pasal. Ia mencontohkan Pasal 362 KUHP tentang pencurian; yang terpenting bukanlah menghafal redaksinya, melainkan memahami unsur-unsurnya: “mengambil barang”, “milik orang lain”, “dengan maksud untuk memiliki”. Kemampuan analisis dan penerapan inilah yang menjadi keahlian sejati seorang ahli hukum, sementara hafalan hanyalah nilai tambah.
5. AI Boleh Dipakai, Asal Bukan untuk ‘Pembodohan’ Diri Sendiri
Menyikapi era teknologi, Bapak Agus memberikan pandangan pragmatis tentang penggunaan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT. Alat ini tidak hanya digunakan oleh mahasiswa, tetapi juga para dosen, dan dianggap sebagai perangkat bantu yang bermanfaat. Namun, ada aturan main yang tidak boleh dilanggar.
AI idealnya digunakan sebagai “pemantik” untuk memunculkan ide-ide awal dan memperluas sudut pandang. Bahaya terbesar terletak pada praktik copy-paste mentah-mentah, yang ia sebut sebagai “awal dari pembodohan” karena mematikan nalar kritis. Metode yang benar adalah dengan memparafrasakan atau menerapkan teknik “ATM” (Amati, Tiru, Modifikasi) untuk menganalisis, mengolah, dan mengembangkan informasi secara mandiri.
6. Organisasi adalah ‘Kampus Kedua’: Jaringan Lebih Penting dari Sekadar Pintar
Di luar ruang kelas formal, ada “kurikulum tersembunyi” yang tak kalah pentingnya. Bapak Agus menegaskan bahwa baginya, organisasi adalah “kampus kedua”. Pengalamannya yang aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus adalah titik balik yang mengubahnya dari sosok yang takut berbicara di depan umum menjadi seorang pembicara dan pendebat yang andal.
Manfaatnya sangat nyata: mengasah kemampuan public speaking, belajar berdebat secara argumentatif, dan yang terpenting, membangun jaringan (relasi). Hal ini sejalan dengan gagasan yang sering dikaitkan dengan Anies Baswedan: kecerdasan mungkin mengantarkanmu hingga ke meja wawancara, tetapi jaringanlah yang membukakan pintu menuju karier yang sesungguhnya.
7. Jalan Menjadi Advokat: Bukan Cuma Lulus Kuliah
Bagi para sarjana hukum yang bercita-cita menjadi advokat, gelar S.H. hanyalah tiket masuk. Perjalanannya masih panjang dan terstruktur secara ketat. Bapak Agus memaparkan rute formal yang harus ditempuh:
- PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat): Mengikuti program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang bekerja sama dengan fakultas hukum.
- UPA (Ujian Profesi Advokat): Lulus ujian profesi yang diadakan oleh organisasi advokat, di mana tidak semua peserta berhasil dalam sekali coba.
- Magang: Menjalani masa magang di kantor hukum minimal selama 2 tahun. Namun, ada pengecualian: jika seorang calon telah mencapai usia 25 tahun, ia dapat diusulkan untuk disumpah tanpa harus menyelesaikan durasi magang 2 tahun penuh.
- Sumpah di Pengadilan Tinggi: Tahap final di mana calon advokat diambil sumpahnya di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi dalam sidang terbuka. Setelah proses ini, mereka akan menerima dua lisensi resmi: KTA (Kartu Tanda Pengenal Advokat) dari organisasi advokat dan BAS (Berita Acara Sumpah) dari Pengadilan Tinggi, yang menjadi izin untuk beracara di seluruh Indonesia.
Ketujuh wawasan ini menggarisbawahi sebuah kebenaran fundamental: hukum bukanlah entitas asing yang mengintimidasi, melainkan sistem operasi masyarakat kita. Memahaminya bukan hanya akan membuat hidup lebih teratur dan aman, tetapi juga memberikan kekuatan untuk mengenali hak dan kewajiban kita. Pada akhirnya, literasi hukum bukanlah kemewahan bagi para praktisi, melainkan sebuah kebutuhan esensial bagi setiap warga negara yang ingin berdaya dalam sebuah tatanan sosial yang adil.