Tohiruddin Siregar: 5 Pelajaran Bagi Pengacara yang Tidak Ditemukan di Buku Teks
Bagi mahasiswa hukum, sering kali ada jurang kecemasan antara teori yang dipelajari di ruang kelas dan realitas praktik hukum yang kompleks di lapangan. Apa yang benar-benar terjadi di pengadilan? Tantangan apa yang sesungguhnya dihadapi seorang praktisi?
Wawasan ini disarikan dari perbincangan mendalam dengan seorang pengacara syariah sekaligus pembimbing klinis hukum berpengalaman, Tohiruddin Siregar, SHI, MH, CPM, dalam podcast “FASIH Suara Hukum Syariah Muda”. Artikel ini akan mengupas lima pelajaran paling mengejutkan dan berdampak dari pengalamannya selama bertahun-tahun, menawarkan perspektif praktis yang seringkali luput dari pembahasan akademis.
1. Pola Pikir Paling Penting: “Jangan Mencari Pekerjaan, Tapi Ciptakan Pekerjaan Itu Sendiri”
Salah satu nasihat paling fundamental dari Tohiruddin Siregar adalah agar lulusan hukum tidak sekadar menjadi pencari kerja, melainkan pencipta kerja. Ia berargumen bahwa profesi hukum, khususnya sebagai pengacara, tidak memiliki kuota. Ini sangat kontras dengan persaingan ketat untuk posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kuotanya sangat terbatas.
Sebagai contoh nyata, ia menceritakan bagaimana dirinya kini mengelola beberapa pos pelayanan bantuan hukum (posbakum). Melalui posbakum tersebut, ia secara aktif merekrut alumni-alumni fakultas hukum, yang secara langsung menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Pesan utamanya terangkum dalam kutipan kuat berikut:
“Janganlah mencari pekerjaan, tapi marilah ciptakan pekerjaan itu sendiri.”
Pola pikir ini sangat memberdayakan bagi mahasiswa yang menghadapi ketidakpastian pasar kerja. Perspektif mereka bergeser dari pelamar pasif menjadi arsitek aktif bagi karier mereka sendiri.
2. Mitos Biaya Hukum: Mengurus Buku Nikah Tidak Semahal yang Dikira
Banyak masyarakat umum beranggapan bahwa mengurus legalitas pernikahan yang tidak tercatat, atau isbat nikah, di pengadilan memerlukan biaya hingga jutaan rupiah. Anggapan ini seringkali membuat masyarakat enggan mengurus hak-hak sipil mereka.
Faktanya, Tohiruddin Siregar meluruskan miskonsepsi ini. Biaya resmi untuk mengajukan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama, jika diajukan sendiri oleh yang bersangkutan, ternyata sangat terjangkau.
“Jika masyarakat mengajukan permohonan isbat nikah sendiri ke Pengadilan Agama, biayanya di bawah Rp 500.000.”
Prosedurnya pun sederhana. Pemohon bisa datang langsung ke Pengadilan Agama dengan membawa KTP dan surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang menyatakan bahwa pernikahan mereka belum pernah tercatat. Ia menegaskan bahwa proses ini tidak perlu melalui kantor kecamatan.
Informasi ini sangat penting karena berhasil meruntuhkan mitos tentang mahalnya biaya hukum. Hal ini memberdayakan masyarakat biasa untuk dapat mengakses hak-hak mereka tanpa dihantui ketakutan akan biaya yang tidak terjangkau.
3. Tantangan Terbesar Bukanlah Kasus Sulit, Melainkan Pandangan Masyarakat
Ketika ditanya mengenai tantangan terbesar seorang pengacara, jawabannya bukanlah tentang argumen hukum yang rumit di persidangan. Menurut Tohiruddin Siregar, tantangan terbesar justru datang dari kesalahpahaman masyarakat terhadap peran seorang pengacara.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat cenderung memandang pengacara dari pihak lawan sebagai musuh pribadi. Selain itu, ada pula pandangan bahwa pengacara disewa untuk “membela untuk membenarkan yang salah”. Padahal, tugas seorang pengacara adalah memperjuangkan hak-hak kliennya sesuai koridor hukum, bukan untuk memutarbalikkan kebenaran.
Ia menggunakan analogi yang sangat kuat untuk menggambarkan poin ini:
“Tugas kami sebagai pengacara adalah memperjuangkan hak-hak klien. Bukan berarti kami membengkokkan yang lurus atau meluruskan yang bengkok. Itu bukan tugas seorang pengacara. Membengkokkan yang lurus adalah tugas tukang besi.”
4. Teori dan Praktik adalah Satu Kesatuan, Tapi Praktik Memudahkan Segalanya
Dalam pendidikan hukum, teori dan praktik bukanlah dua entitas yang terpisah. Menurut Tohiruddin Siregar, keduanya adalah “satu kesatuan” yang sama-sama penting dan tidak dapat dipisahkan.
Namun, ia memberikan sebuah wawasan kunci: meskipun teori adalah fondasi, praktiklah yang membuat pemahaman terhadap teori menjadi jauh lebih mudah dan matang.
“Ketika kita sudah berpraktik, kita lebih mudah untuk memahami teori itu sendiri.”
Ia mengilustrasikannya dengan analogi sederhana. Seseorang tidak akan pernah benar-benar tahu cara mengendarai sepeda hanya dengan membaca teorinya; ia harus naik dan mulai berlatih. Hal yang sama berlaku untuk ilmu hukum. Inilah mengapa praktik seperti peradilan semu (moot court) sangat berharga, karena pengalamannya “enggak jauh lagi” dari ruang sidang yang sesungguhnya dan menjadi jembatan vital antara teori dan praktik.
5. Nilai Inti Seorang Pengacara: Kejujuran dan Keterbukaan, Bukan Sekadar Kecerdikan
Saat diminta menyebutkan nilai-nilai terpenting bagi seorang pengacara, jawabannya bukanlah kecerdikan strategi atau kelihaian berargumen, melainkan nilai-nilai etika yang fundamental.
Tiga nilai inti yang ia identifikasi adalah: kejujuran, tepat waktu, dan keterbukaan terhadap klien.
Pelajaran ini sangat penting karena mengubah persepsi umum tentang pengacara dari seorang ahli strategi yang licik menjadi seorang profesional yang dapat dipercaya, di mana modal utamanya adalah integritas. Hal ini tidak hanya memanusiakan profesi hukum tetapi juga memberikan kompas etis yang jelas bagi para calon pengacara.
Dari kacamata seorang praktisi, profesi hukum ternyata lebih dari sekadar pasal-pasal dan ruang sidang. Ini adalah tentang menciptakan peluang, melayani masyarakat dengan integritas, dan menavigasi persepsi manusia yang kompleks. Pelajaran ini adalah bekal berharga yang melengkapi pengetahuan teoretis dari bangku kuliah.
Setelah melihat hukum dari kacamata praktisi, pelajaran mana yang paling mengubah cara pandang Anda terhadap profesi ini?