Pasca Bencana Sumatera: Bolehkah Kayu Gelondongan yang Terbawa Banjir Digunakan Warga?

Fahmi Syukur Siregar

     Fahmi Syukur Siregar *

Bencana alam kembali menjadi peristiwa yang berulang dan meninggalkan dampak serius bagi masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Baru-baru ini terjadi bencana alam di berbagai daerah di pulau sumatera seperti, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat. Untuk wilayah Provinsi Sumatera Utara sendiri terjadi banjir bandang terjadi pada penghujung bulan November  tepatnya pada tanggal 25-26 November 2025 di beberapa kabupaten/kota seperti kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Kota Medan, Sibolga dan beberapa daerah lainnya. Bencana tersebut tidak hanya merusak infrastruktur publik,tetapi juga menghancurkan rumah-rumah warga, merampas sumber penghidupan dan memaksa masyarakat untuk bertahan dalam kondisi serba terbatas.

Di tengah situasi darurat pasca bencana tersebut, muncul fenomena yang menarik sekaligus problematis, Bencana banjir bandang tersebut, tidak hanya membawa aliran air yang deras, tetapi juga membawa kayu-kayu gelondongan yang begitu besar yang dimana kayu gelondongan tersebut di duga berasal dari penebangan liar (illegal loging), ada juga yang berpendapat bahwasanya kayu-kayu tersebut hanyut karena tidak sanggup menahan debit air juga curah hujan yang terlalu tinggi akhir-akhir ini.

Dikutip dari detiknews, Kementerian Kehutanan menemukan lima lokasi pembalakan liar yang diduga menjadi pemicu banjir di sumatera, dan juga telah dilakukan penyegelan terhadap lima lokasi tersebut. Direktur jenderal penegakan hukum kehutanan Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho Pihaknya menemukan pola yang jelas pada kerusakan hutan di Sumatera. Menurut beberapa keterangan masyarakat termasuk kepala desa Tolang, curah hujan yang tinggi dalam waktu seminggu terakhir menjadi faktor utama meluapnya debit air sungai. Namun, tidak hanya air saja yang meluap tetapi juga membawa kayu gelondongan yang memiliki bobot yang besar dan terseret kearah pemukiman warga.

Di Kabupaten Tapanuli Selatan, fenomena ini menjadi  sangat nyata, di mana warga secara spontan dan kolektif mengolah dan mengumpulkan kayu yang hanyut untuk memperbaiki rumah yang rusak atau membangun kembali tempat tinggal mereka dengan menggunakan kayu gelondongan yang hanyut tersebut. Bagi masyarakat terdampak bencana, kayu hanyut dipandang sebagai satu-satunya sumber daya yang dimanfaatkan secara cepat ditengah keterbatasan bantuan dan kondisi ekonomi terpuruk. Proses pembangunan rumah dan fasilitas penting lainnya dilakukan secara gotong-royong, seperti yang terjadi di Desa Tolang Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan. Masyarakat desa Tolang dan aparat TNI/Polri serta para relawan gotong-royong untuk rekontruksi kembali bangunan yang rusak pasca bencana dengan menggunakan kayu gelondongan.

Inisiatif warga tersebut menuai pro dan kontra, pada satu sisi mencerminkan daya juang, solidaritas, dan kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Namun pada sisi lain, praktik pemanfaatan kayu yang hanyut pasca bencana menimbulkan pertanyaan hukum yang tidak sederhana. Apakah kayu yang hanyut akibat bencana secara otomatis bisa dan boleh dimanfaatkan oleh masyarakat? Apakah kayu tersebut masih menjadi hak milik pemilik asal,ataukah berubah status menjadi harta yang boleh digunakan demi kepentingan umum? Apakah pemanfaatan kayu gelondongan tersebut tidak dapat menimbulkan masalah hukum dan sesuai dengan Hukum Ekonomi Syariah?

Dalam perspektif hukum positif, pemanfaatan kayu khususnya yang berasal dari kawasan hutan, pada dasarnya berada dalam pengawasan dan penguasaan negara.Namun realitasnya pasca bencana menunjukkan kesenjangan antara norma hukum dan kondisi faktual dilapangan. Di daerah-daerah terdampak seperti Tapsel, Tapteng, dan Sibolga, masyarakat berada dalam kondisi darurat yang menuntut solusi cepat, sementara regulasi yang mengatur pemanfaatan kayu hanyut secara spesifik belum tersedia atau belum tersosialisasi dengan baik. Akibatnya masyarakat berada dalam posisi renta, di mana tindakan yang dilakukan untuk bertahan hidup justru berpotensi dipersoalkan secara hukum.

Jika ditinjau dari perspektif  Hukum Ekonomi Syariah, fenomena pemanfaatan kayu yang hanyut pasca bencana alam mengandung dimensi moral, keadilan dan kemaslahatan yang sangat kuat. Islam menempatkan Maslahat Mursalah sebagai tujuan utama syariat, sehingga pengambilan atau pemanfaatan harta orang lain pada prinsipnya dilarang. Dalam konteks ini, kayu hanyut yang sejatinya memiliki pemilik asal tidak dapat serta-merta dipandang sebagai harta bebas. Pemanfaatannya tanpa kejelasan status kepemilikan berpotensi masuk kedalam kategori ghasab, yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Namun demikian, Hukum Ekonomi Syariah juga tidak bersifat kaku dan memberikan perhatian besar terhadap kondisi darurat. Kaidah fiqh al-dharurat tubih al-mahzurat yang artinya keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang memberikan legitimasi syar’I terhadap tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan untuk menghindari Kemudharatan yang lebih besar. Dalam kasus bencana alam yang terjadi saat ini di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh, pemanfaatan kayu hanyut oleh masyarakat untuk membangun kembali rumah dapat dipandang sebagai upaya menjaga keberlangsungan hidup dan martabat manusia. Di sinilah terjadi tarik-menarik antara perlindungan hak milik dan tuntutan kemanusiaan yang mendesak.

Lebih lanjut, pemanfaatan kayu gelondongan yang hanyut pasca bencana juga menyentuh persoalan keadilan distribusi dan kemaslahatan umum. Apabila kayu hanyut dimanfaatkan tanpa aturan yang jelas, maka terdapat resiko penguasaan oleh pihak tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi atau akses lebih besar, sementara masyarakat yang paling berdampak justru terpinggirkan. Oleh karena itu, hukum ekonomi syariah menuntut adanya pengaturan yang adil, proporsional, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama, bukan semata-mata pada keuntungan individu.

Berdasarkan fenomena nyata yang terjadi saat ini di Tapsel dan wilayah sumatera lainnya, kajian mengenai analisis hukum pemanfaatan kayu hanyut pasca bencana alam dalam perspektif Hukum Ekonomi Syariah menjadi sangat relevan dan mendesak. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan kejelasan hukum di tengah kondisi darurat, dengan mengkaji bagaimana prinsip-prinsip syariah dapat memberikan solusi yang adil, manusiawi, san kontekstual terhadap praktik pemanfaatan kayu hanyut pascabencana.

Analisa Hukum

Fenomena pemanfaatan kayu gelondongan yang hanyut pasca banjir tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan darurat masyarakat, tetapi juga menimbulkan persoalan hukum yang lebih luas, termasuk potensi hilangnya alat buktiatas tindak pidana kehutanan. Oleh karena itu, analisis terhadap praktik iniperlu dilakukan secara komprehensif, baik dari perspektif hukum ekonomi syariah maupun hukum posistif di Indonesia.

Dalam hukum ekonomi syariah, harta (mal) memiliki kedudukan yang dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan tanpa dasar hukum yang sah. Prinsip hifzh al-mal sebagai bagian dari maqashid syariah menegaskan bahwa setiap bentuk pemanfaatan harta harus menghormati hak kepemilikan dan tidak menimbulkan kezaliman. Kayu gelondongan yang hanyut akibat banjir pada dasarnya tidak serta-merta berubah menjadi harta tidak bertuan, karena asal-usulnya dapat berasal dari hutan negara, hutan adat, maupun lahan milik individu.

Pemanfaatan kayu hanyut tanpa kejelasan status kepemilikan berpotensi masuk kedalam kategori ghasab, yaitu penguasaan harta orang lain tanpa hak. Namun demikian, hukum ekonomi syariah memberikan ruang pengecualian dalam keadaan darurat. Kaidah Al-dharurat tubih al-mahxurat membolehkan pemanfaatan harta tertentu apabila dilakukan semata-mata untuk menghndari kemudharatan yang lebih besar, seperti membangun tempat tinggal darurat pasca bencana. Pembolehan ini bersifat terbatas, proforsional, dan tidak boleh melampaui kebutuhan.

Yang penting, hukum ekonomi syariah juga menekankan prinsip tanggung jawab moral dan sosial. Apabila pemanfaatan kayu hanyut justru menghilangkan bukti kejahatan lingkungan, seperti penebangan hutan illegal, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara syariah. Hal ini sejalan dengan kaidah la dharar wa la dhirar, yang melarang tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain maupun kepentingan umum. Menghilangkan atau merusak bukti kejahatan kehutanan berarti membuka jalan bagi kerusakan lingkungan yang lebih besar, yang jelas bertentangan dengan prinsip maslahah dan amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Dari sudut pandang hukum positif, kayu gelondongan yang hanyut pasca banjir memiliki implikasi hukum yang serius. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, khususnya yang mengatur tentang perlindungan hutan dan pemberantasan pembalakan liar, setiap kayu yang berasal dari kawasan hutan pada prinsifnya berada di bawah penguasaan negara. Kayu tersebut hanya dapat dimanfaatkan apabila dilengkapi dengan dokumen legalitas yang sah.

Kayu gelondongan yang hanyut akibat banjir seringkali diduga berasal dari aktivitas penebangan hutan, baik legal maupun illegal. Dalam konteks ini, kayu hanyut dapat berfungsi sebagai barang bukti untuk menghindari asal-usul kayu dan mengungkap kemungkinan terjadinya tindak pidana kehutanan. Apabila kayu tersebut langsung dimanfaatkan, dipotong, atau dipindahkan oleh masyarakat tanpa pengawasan, maka terdapat resiko hilangnya barang bukti yang dapat menghambat proses penegakan hukum.

Hukum positif memandang tindakan yang menghilangkan atau mengubah barat bukti sebagai perbuatan yang berotensi melanggar hukum, terlebih jika dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, pemanfaatan kayu gelondongan hanyut tanpa kordinasi dengan aparat berwenang dapat menimbulkan implikasi hukum, meskipun masyarakat melakukannya dalam kondisi pascabencana. Negara berkepentingan untuk memastikan bahwa kayu hanyuttidak menjadi sarana untuk menutupi praktik penebanganhutan illegal yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjirdan longsor.

Titik temu dan ketegangan antara dua sistem hukum

Baik hukum ekonomi syariah maupun hukum positif pada dasarnya memiliki titik temu dalam persoalan ini, yaitu sama-sama menolak pemanfaatan kayu hanyut yang berujung pada kezaliman, kerusakan lingkungan, dan hilangnya keadilan. Hukum syariah menolak tindakan yang merusak kemaslahatan dan menghilangkan amanah, sementara hukum positif menolak tindakan yang menghilangkan barang bukti dan melemahkan penegakan hukum.

Namun demikian, kedua sistem hukum juga sama-sama mengakui adanya kondisi darurat pascabencana yang menuntut pendekatan yang lebih manusiawi. Tantangannya adalah begaimana memastikan pemanfaatan kayu hanyut dilakukan secara terbatas, transparan, dan berada dibawah pengawasan otoritas yang berwewenang, sehingga kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi tanpa mengorbankan kepentingan hukum dan lingkungan.

Implikasi dan rekomendasi

Berdasarkan analisis tersebut, pemanfaatan kayu gelondongan hanyut pasca banjir tidak dapat dibenarkan secara mutlak, baik menurut hukum ekonomi syariah maupun hukum positif. Pemanfaatan hanya dapat dibenarkan apabila:

1). Dilakukan dalam kondisi darurat dan sebatas kebutuhan dasar

2). Tidak menghilangkan atau merusak potensi barang bukti

3). Dilakukan dengan pengawasan atau izin dari otoritas terkait

4). Tidak dimnfaatkan untuk kepentingan komersial

Dengan demikian, praktik pemanfaatan kayu gelondongan yang hanyut pasca bancana harus ditempatkan dalam kerangka keadilan, kemaslahatan dan tanggung jawab lingkungan, agar tidak menajadi celah pembenaran bagi perusak hutan dan pengilangan bukti tindak pidana kehutanan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Al-Quran Surah Al-baqarah Ayat 188
Al-Quran Surah Al-A’raf Ayat 56
Absori,dkk. (2018). Hukum Lingkungan dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Fauzi, Ahmad. (2019). Maqashid Syariah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Jurnal Hukum Islam. Volume:17,No:2.
https://news.detik.com/berita/d-8247287/5-lokasi-pembalakan-liar-yang-diduga-picu-banjir-sumatera-disegel/amp

 

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah