Publik Figur Vs Pemerintah: Siapa yang Dipercaya Publik dalam Menyalurkan Donasi?

Asirul Waqdi*
Ketika bencana alam terjadi, solidaritas masyarakat Indonesia hampir selalu muncul secara spontan. Donasi mengalir dalam berbagai bentuk, mulai dari uang, logistik, hingga dukungan moral. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang menarik perhatian: masyarakat cenderung lebih percaya kepada publik figur dibandingkan pemerintah dalam menyalurkan donasi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting, siapa sebenarnya yang lebih dipercaya publik dan mengapa kepercayaan itu terbentuk?
Di era digital, publik figur seperti artis, influencer, dan tokoh masyarakat memiliki ruang komunikasi yang luas melalui media sosial. Mereka dapat menyampaikan ajakan donasi, memperlihatkan kondisi korban bencana, hingga mendokumentasikan proses penyaluran bantuan secara langsung. Kecepatan dan keterbukaan informasi ini sering kali membuat masyarakat merasa lebih dekat dan terlibat, sehingga kepercayaan pun terbentuk dengan cepat.
Kepercayaan Publik dalam Perspektif Sosial
Kepercayaan publik merupakan elemen penting dalam tindakan kolektif. Menurut Putnam (2000), kepercayaan sosial terbentuk melalui interaksi yang konsisten, keterbukaan, dan rasa kedekatan antara individu atau kelompok. Dalam konteks donasi, masyarakat cenderung mempercayai pihak yang dianggap transparan dan dapat dipantau secara langsung.
Publik figur memanfaatkan media sosial untuk menampilkan proses penggalangan dan penyaluran donasi secara visual. Foto dan video yang diunggah dari lokasi bencana menciptakan kesan kehadiran langsung di lapangan. Hal ini membangun keyakinan bahwa bantuan benar-benar disalurkan kepada korban. Sementara itu, laporan pemerintah umumnya disampaikan dalam bentuk rilis resmi atau laporan tertulis yang kurang menyentuh sisi emosional masyarakat.
Pemerintah dan Tantangan Birokrasi
Sebagai penyelenggara negara, pemerintah memiliki kewajiban hukum dan moral dalam penanggulangan bencana. Pemerintah bertanggung jawab atas koordinasi, distribusi bantuan, serta pemulihan pascabencana. Namun, birokrasi yang panjang sering kali menjadi tantangan. Prosedur administrasi, koordinasi lintas lembaga, serta mekanisme pertanggungjawaban yang ketat kerap dipersepsikan masyarakat sebagai lamban (Dwiyanto, 2018).
Persepsi ini tidak selalu mencerminkan kinerja pemerintah secara keseluruhan, tetapi cukup berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik. Ketika bantuan pemerintah dianggap terlambat atau informasinya kurang terbuka, masyarakat mencari alternatif lain yang dinilai lebih cepat dan responsif. Di sinilah publik figur kemudian mengambil peran.
Kekuatan Publik Figur dalam Menggerakkan Solidaritas
Publik figur memiliki modal sosial berupa pengaruh dan jumlah pengikut yang besar. Sekali mereka mengajak berdonasi, respons publik bisa sangat cepat. Keunggulan utama publik figur terletak pada kemampuan membangun narasi kemanusiaan yang sederhana dan mudah dipahami. Cerita tentang korban, kondisi lapangan, dan kebutuhan mendesak disampaikan dengan bahasa yang dekat dengan keseharian masyarakat.
Namun, kepercayaan yang tinggi kepada publik figur juga perlu disikapi secara kritis. Tidak semua publik figur memiliki kapasitas dalam pengelolaan dana atau pengetahuan tentang manajemen kebencanaan. Tanpa sistem yang jelas, risiko ketidaktepatan sasaran atau kurangnya akuntabilitas tetap ada. Oleh karena itu, kepercayaan publik seharusnya diimbangi dengan mekanisme transparansi yang memadai.
Akuntabilitas dan Transparansi Donasi
Dalam pengelolaan donasi, prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi hal yang sangat penting. Donasi masyarakat merupakan amanah yang harus dikelola secara bertanggung jawab. Pemerintah memiliki sistem pengawasan dan audit yang relatif lebih kuat karena terikat oleh regulasi dan mekanisme hukum. Di sisi lain, publik figur sering kali mengandalkan kepercayaan personal tanpa sistem pelaporan yang baku.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2020), koordinasi yang baik antara berbagai pihak sangat diperlukan agar bantuan tidak menumpuk di satu lokasi dan mengabaikan daerah lain yang juga terdampak. Tanpa koordinasi, bantuan justru berpotensi tidak efektif meskipun jumlahnya besar.
Fenomena “publik figur vs pemerintah” seharusnya tidak dipahami sebagai persaingan. Sebaliknya, kondisi ini dapat menjadi peluang kolaborasi. Publik figur dapat berperan sebagai penggerak solidaritas dan jembatan komunikasi dengan masyarakat, sementara pemerintah bertindak sebagai pengelola utama yang memastikan distribusi bantuan berjalan sesuai data dan kebutuhan lapangan.
Kolaborasi semacam ini telah terbukti mampu meningkatkan efektivitas penyaluran bantuan. Dengan memadukan kecepatan dan pengaruh publik figur serta kapasitas dan legitimasi pemerintah, donasi masyarakat dapat disalurkan secara lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.
Kepercayaan publik tidak dibangun dalam waktu singkat. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan komunikasi publik, terutama dalam penyaluran bantuan bencana. Informasi yang disampaikan secara terbuka, cepat, dan mudah dipahami akan membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat. Di sisi lain, publik figur juga perlu meningkatkan akuntabilitas dengan menyajikan laporan penggunaan dana secara jelas dan sistematis.
Pada akhirnya, tujuan utama dari penggalangan donasi adalah membantu korban bencana secara cepat dan manusiawi. Siapa pun penyalurnya, kepercayaan publik harus dijaga melalui transparansi, integritas, dan kerja sama. Dengan sinergi antara publik figur dan pemerintah, solidaritas masyarakat Indonesia dapat menjadi kekuatan besar dalam menghadapi berbagai bencana alam.
Fenomena kepercayaan masyarakat terhadap publik figur dalam penyaluran donasi mencerminkan perubahan pola komunikasi dan relasi sosial di era digital. Publik figur unggul dalam kedekatan dan kecepatan, sementara pemerintah memiliki keunggulan dalam legitimasi dan jangkauan. Alih-alih dipertentangkan, keduanya perlu diposisikan sebagai mitra. Dengan kolaborasi yang baik, donasi masyarakat tidak hanya menjadi simbol kepedulian, tetapi juga solusi nyata bagi korban bencana.
Daftar Pustaka
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2020). Pedoman penyaluran bantuan bencana. BNPB.
Dwiyanto, A. (2018). Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.
*Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syahada Padangsidimpuan