Ketimpangan Penanganan dan Distribusi Bantuan Akibat Status Banjir Non-Bencana Nasional di Sumatera Utara

Siti Fatimah*
Banjir dahsyat yang melanda Sumatera Utara pada akhir November 2025 telah menimbulkan penderitaan luas, namun statusnya sebagai “non-bencana nasional” menyebabkan ketimpangan signifikan dalam penanganan dan distribusi bantuan. Meskipun BNPB dan pemerintah daerah berupaya, akses terbatas ke wilayah terisolasi memperburuk distribusi yang tidak merata, terutama di daerah pedalaman seperti Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tamiang yang berbatasan dengan Sumut.
Narasi ini menggambarkan kronologi ketimpangan tersebut, dengan penekanan pada daerah terdampak utama Banjir bandang dipicu hujan ekstrem sejak 25 November 2025, merobohkan infrastruktur di Sumatera Utara, termasuk kabupaten Langkat, Karo, dan Deli Serdang, Kabupaten tapanuli selatan,Kabupaten Mandailing Natal, serta meluas ke Aceh Utara. Status non-nasional berarti tanggung jawab utama ada di pemerintah provinsi, membatasi alokasi dana pusat darurat yang mencapai Rp50 triliun secara keseluruhan. Akibatnya, evakuasi lambat di desa-desa terpencil seperti Kecamatan Kutacane di Aceh dan pedalaman Karo, di mana jalan nasional terputus dan lumpur tebal menghalangi akses.
Ketimpangan distribusi Non- Bencana Nasional
Ketimpangan penanganan dan distribusi bantuan banjir di Sumatera Utara pada 2025 muncul karena status non-bencana nasional membatasi alokasi prioritas pusat, meski BNPB salurkan 125 ton bantuan via udara ke Sumut, Aceh, serta Sumbar. Wilayah seperti Tapanuli Tengah dan Sibolga alami keterlambatan akibat akses terisolasi, sementara Medan dan Langkat prioritas lebih cepat, menyebabkan 21.580 pengungsi kesulitan pangan dasar. Deforestasi 1,4 juta hektar hutan lindung oleh tambang, sawit, dan PLTA sejak 2016 memicu banjir bandang, dengan longsor di Tapanuli Tengah menewaskan 127 jiwa dan hancurkan bendungan irigasi
Kerugian Rp68,67 triliun termasuk lahan pertanian rusak memperburuk kelaparan di pedalaman, di mana resapan air hilang akibat 110,5 ribu ha deforestasi baru. Namum Hingga saat ini, pemerintah masih menyatakan bencana di tiga provinsi tersebut sebagai bencana daerah. Padahal, banjir bandang menyebabkan korban meninggal, luka-luka, dan masih dalam pencarian, merusak infrastruktur, kerugian sosial ekonomi.
Salah satu indikasi utama ketimpangan penanganan banjir non-bencana nasional di Sumatera adalah tidak meratanya distribusi bantuan logistik. Bantuan seperti pangan, air bersih, selimut, dan obat-obatan cenderung terkonsentrasi di wilayah yang mudah diakses atau dekat dengan pusat pemerintahan daerah. Sementara itu, masyarakat di daerah terpencil, pesisir, dan pedalaman sering mengalami keterlambatan bahkan kekurangan bantuan, meskipun terdampak banjir dengan tingkat keparahan yang sama. Yang mana Status banjir sebagai bencana non-nasional menyebabkan keterlibatan pemerintah pusat bersifat terbatas dan prosedural. Akibatnya, respons tanggap darurat sering kali berjalan lambat karena menunggu keputusan dan kemampuan daerah. Keterlambatan ini berdampak langsung pada keselamatan dan kesehatan masyarakat terdampak, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Dalam banyak kasus banjir non-bencana nasional di Sumatera, masyarakat lebih bergantung pada bantuan dari relawan, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga swadaya masyarakat. Ketergantungan ini menunjukkan keterbatasan peran negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak secara merata dan berkelanjutan. Sehingga terjadi masalah yang membuat masyarakat yang tidak terkena dampak banjir ikut mengambil kesempatan dalam kejadian bencana Non- Nasional tersebut. masyarat yang tidak terkena akan bencana banjir membuat bahan pangan dan BBM menjadi harga yang cukup tinggi dibanding harga sebelumnya disitu juga terdapat ketimpangan distribusi masuk yang kepada masyarakat yang terkena bencana banjir. Seperti yang terjadi di tapanuli tengah saat seminngu bencana banjir datang harga pangan di wilayah tersebut melambung tinggi akibatnya masyarakat wilayah tersebut menjarah indomaret dan al-Famidi terdekat agar bisa bertahan hidup.
Tantangan di Daerah Pedalaman
Daerah seperti Aceh Tamiang dan perbatasan Sumut menerima dampak terberat, di mana tim Dompet Dhuafa melaporkan kesulitan pemerataan layanan medis karena titik banjir berjumlah ratusan. Evakuasi jenazah dan kendaraan tertimbun di Karo tertunda berminggu-minggu, berisiko wabah penyakit karena akses udara pun terhambat cuaca.
Kolaborasi TNI minim, membuat bantuan 34,3 ribu ton beras dari pusat tersangkut di pelabuhan, sementara warga Deli Serdang,bergantung pada donasi lokal yang tidak mencukupi. Daerah pedalaman seperti di dua kabupaten Tapanuli Tengah,Tapanuli Utara,Tapanuli Selatan,di Sumatera Utara menghadapi isolasi karena jalan rusak, jembatan hanyut, dan longsor, memaksa distribusi via helikopter dengan keterbatasan daya angkut dan BBM. Kondisi ini memperburuk ketimpangan, di mana desa-desa terpencil kesulitan mendapat bantuan dasar seperti makanan dan obat-obatan tepat waktu.
Upaya Pemulihan dan Kritik
Sekretaris Setkab turun tangan mendistribusikan 18 ton bantuan pada 11 Desember, tapi ini terlambat bagi korban di wilayah terdampak primer seperti Kutacane, di mana warga menyatakan “bantuan tidak ada, beras tidak ada”. BNPB klaim pengawasan ketat via personel lokal, namun kritik muncul soal penolakan bantuan asing yang bisa percepat pemulihan hingga 30 tahun di Aceh Tamiang. Biaya Rp66,7 miliar dari Kemensos belum menutup kesenjangan, dengan NGO mencatat pemulihan infrastruktur besar prioritas atas desa kecil. Ketimpangan ini berpotensi perburuk kemiskinan di Sumatera Utara, khususnya Karo dan Langkat, di mana lokasi tak layak huni akibat lumpur permanen.
Tanpa status nasional, koordinasi pusat-daerah lemah, meninggalkan daerah pedalaman rentan krisis kesehatan sekunder. Pemangku kepentingan mendesak perbaikan rantai komando untuk bencana serupa mendatang. Ketimpangan dalam penanganan dan distribusi bantuan tidak hanya berdampak pada aspek fisik pasca-banjir, tetapi juga memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Masyarakat di daerah yang kurang mendapatkan bantuan cenderung mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatnya angka kemiskinan, serta kerentanan terhadap penyakit. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memperlemah kohesi sosial.
Selain itu, ketimpangan ini menunjukkan bahwa paradigma penanggulangan bencana masih terlalu berfokus pada status administratif, bukan pada skala dampak dan kerentanan masyarakat. Banjir yang berulang tetapi selalu dikategorikan sebagai non-bencana nasional berpotensi menimbulkan kerugian kumulatif yang jauh lebih besar dibandingkan satu peristiwa bencana besar.
Audit izin dan Restorasi Hukum
Ketimpangan penanganan dan distribusi bantuan akibat status banjir non-bencana nasional di Sumatera Utara merupakan persoalan kompleks yang memerlukan perhatian serius. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali mekanisme penetapan status bencana agar lebih responsif terhadap dampak nyata di lapangan. Selain itu, penguatan kapasitas pemerintah daerah, peningkatan koordinasi lintas sektor, serta pelibatan masyarakat dalam mitigasi bencana menjadi langkah penting untuk mengurangi ketimpangan tersebut.
Banjir non-nasional di Sumatera Utara 2025 mengekspos tragedi ekologis dari deforestasi dan kegagalan hukum dalam penanganan, distribusi bantuan, serta pengawasan harga barang, yang melanggar UU Perdagangan No. 7/2014 dan UU Penanggulangan Bencana No. 24/2007. Audit izin perusahaan serta restorasi hukum jadi kunci pemulihan keadilan bagi 360 korban jiwa dan 21.580 pengungsi.
Melakukan audit independen oleh KPK dan KLHK terhadap 631 izin tambang, sawit, PLTA di Sumut sejak 2016, cabut yang picu deforestasi 1,4 juta ha. Integrasikan Satgas PKH dengan BPBD untuk verifikasi stok barang kebutuhan pokok, sanksi pidana pelaku naikkan harga tidak wajar.
Terakhir, Perlu juga mendorong UU Kehutanan baru transformatif cegah longsor berulang, dengan RTRW Sumut wajib lindungi resapan air pedalaman. Aktivasi aplikasi pelaporan digital dan patroli mobile daerah untuk distribusi bantuan merata, eskalasi status darurat jika korban >100 jiwa.
Daftar Pustaka
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2021). Pedoman Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta: BNPB.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. (2022). Sumatera Utara dalam Angka. Medan: BPS Sumatera Utara.
Darmawan, R., & Siregar, M. (2020). Analisis Kerentanan Banjir di Wilayah Sumatera Utara. Jurnal Kebencanaan Indonesia, 6(2), 45–60.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2021). Laporan Penyaluran Bantuan Sosial Bencana Alam. Jakarta: Kemensos RI.
Nurhasanah, L. (2019). Ketimpangan Distribusi Bantuan Bencana di Daerah Non-Bencana Nasional. Jurnal Administrasi Publik, 5(1), 23–38.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara UIN Syahada Padangsidimpuan