Banjir Bandang Sumatra: Bom Waktu Kekerasan yang Terpendam

Riska Pitri Siregar*
Gemuruhnya menggelegar bukan dari guntur di langit, melainkan dari lereng-lereng bukit yang tidak lagi mampu menahan beban. Dalam sekejap, air yang jernih berubah menjadi gelombang maut berwarna coklat kelam, menggulung bebatuan, mencabut pohon, dan meluluhlantakkan permukiman yang dilewatinya. Banjir bandang yang kembali menghantam berbagai wilayah di Sumatra, seperti yang baru-baru ini menerjang Desa Garoga di Tapanuli Selatan, bukanlah peristiwa biasa atau sekadar musibah dari langit. Ia adalah sebuah ledakan waktu, puncak dari akumulasi kekerasan yang terpendam terhadap alam pulau ini. Setiap tetes hujan yang jatuh ekstrem hanya menjadi pemicu terakhir dari bom yang sumbunya telah dipendam bertahun-tahun.
Ledakan itu disiapkan lewat luka-luka yang bertumpuk. Hutan hujan tropis yang semula berfungsi sebagai spon raksasa penyerap dan penyimpan air, telah tercabik-cabik. Di sekitar Desa Garoga, misalnya, konversi hutan menjadi lahan pertanian sayur intensif di lereng curam telah meluas dalam beberapa tahun terakhir. Pembalakan liar, ekspansi perkebunan monokultur skala besar, dan aktivitas pertambangan menggerus kemampuan tanah untuk menahan air semua ini berlangsung di bawah bayang-bayang penegakan hukum yang lemah.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebenarnya sudah mengatur sanksi tegas bagi perusak lingkungan, termasuk denda dan pidana penjara. Namun, implementasinya kerap tumpul di lapangan. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sakit, seperti DAS Aek Sibundung yang melintasi Garoga, tak lagi mampu mengatur tata air dengan damai. Akibatnya, limpasan air hujan langsung mengalir deras dari hulu, menggerus tanah, dan mengumpulkan semua materi longsor menjadi satu kesatuan kekuatan penghancur yang kita saksikan sebagai banjir bandang. Lumpur hitam yang menyapu pemukiman warga Garoga bukan sekadar tanah; ia adalah arsip kesalahan kolektif yang juga mencerminkan kegagalan penegakan regulasi.
Ancaman yang semakin nyata ini diperparah oleh krisis iklim yang membuat hujan ekstrem semakin intens. Namun, kerentanan masyarakat yang tinggi akibat tata ruang yang mengabaikan risik seperti permukiman di bantaran sungai dan kaki lereng terjal menjadikan bencana ini semakin mematikan. Di Garoga, banyak rumah warga justru berdiri di zona rawan longsor dan alur banjir bandang lama yang seharusnya dikosongkan. (Kompas, 2025; BPBD Sumatra Utara, 2025). Di sinilah hukum seharusnya berperan sebagai pengendali. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan pemerintah daerah untuk menyusun rencana tata ruang yang memperhatikan aspek mitigasi bencana. Sayangnya, pelanggaran terhadap rencana tata ruang, seperti pembangunan di kawasan lindung dan sungai, masih kerap terjadi tanpa penindakan yang konsisten. Sistem peringatan dini yang masih terbatas membuat respons menjadi lebih lambat. Korban jiwa dan materi yang berulang seperti yang terjadi di Garoga adalah harga mahal dari kelalaian ini, termasuk kelalaian dalam memastikan kepatuhan hukum.
Maka, meredam ledakan waktu ini memerlukan lompatan dari paradigma reaktif menuju aksi restoratif yang berani dan berlandaskan hukum. Prioritas mutlak adalah memulihkan kesehatan ekosistem hulu melalui reboisasi dan penghijauan yang serius, termasuk program restorasi DAS prioritas di kawasan hulu Garoga. Penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap perusakan lingkungan sesuai dengan UU PPLH harus menjadi prioritas. Penataan ulang ruang hidup dengan menghormati daerah rawan bencana harus dilakukan dengan mendasarkan pada UU Penataan Ruang serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Undang-Undang No. 26 Tahun 2007) Penguatan sistem peringatan dini berbasis komunitas adalah langkah-langkah krusial lainnya yang juga perlu didukung oleh kerangka hukum yang jelas. Pembelajaran dari Garoga menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam patroli sungai dan pemantauan lereng dapat menjadi sistem peringatan dini yang efektif. Kita harus mengelola satu Daerah Aliran Sungai secara utuh, dari hulu hingga hilir, dengan melibatkan semua pihak dalam kerangka hukum kolaboratif dan tanggung jawab bersama. (BPBD Sumatra Utara, 2025)
Banjir bandang adalah alarm keras yang tak boleh lagi kita abaikan. Ia adalah cara alam mengingatkan bahwa kekerasan terhadapnya tidak akan pernah berakhir tanpa konsekuensi, termasuk konsekuensi hukum. Masa depan Sumatra yang berkelanjutan bergantung pada pilihan kita hari ini: terus memendam bom waktu dengan pembiaran pelanggaran hukum, atau mulai berdamai dengan merestorasi alam dan hidup selaras dengannya melalui kepatuhan dan penegakan aturan yang konsisten. Pemulihan Garoga dan desa-desa lain yang terdampak harus menjadi titik awal perubahan paradigma ini. Waktu terus berjalan, tetapi kita masih punya kesempatan untuk melucuti sumbu ledakan itu dengan ilmu, kebijakan, dan hukum yang ditegakkan dengan sungguh-sungguh sebelum semua terlambat.
Daftar Pustaka
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatra Utara. (2025). Laporan Pasca-Bencana Banjir Bandang Desa Garoga, November 2025 Medan: BPBD Sumatra Utara.
Kompas. (2025, 5 November). Banjir Bandang Terjang Desa Garoga, Tapanuli Utara pada November 2025, Ratusan Warga Mengungsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Tata negara UIN Syahada Padangsidimpuan