Krisis Lingkungan di Sumatera Utara dan Kegagalan Tanggung Jawab Hukum Pemerintah

Oleh: Firmansyah, Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syahada Padangsidimpuan
Banjir dan longsor yang berulang kali terjadi di berbagai wilayah Sumatera Utara tidak hanya tercatat sebagai fenomena alam, tetapi juga langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di daerah terdampak. Gangguan terhadap pemukiman, putusnya akses transportasi, serta berhentinya kegiatan pendidikan dan ekonomi merupakan dampak nyata yang terus terjadi setiap tahun. Pengalaman langsung ini menunjukkan bahwa bencana telah bergeser menjadi fenomena yang terstruktur dan sistematis, tidak lagi sekadar kejadian kebetulan.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa frekuensi dan dampak bencana semakin meningkat sejalan dengan menurunnya kualitas lingkungan. Berkurangnya daerah resapan air, penyempitan jalur sungai, dan berlarut-larutnya konversi lahan berlangsung dengan bebas dan dalam waktu yang lama. Ketika hujan deras terjadi, lingkungan yang telah kehilangan dukungan ekologis tidak lagi dapat menahan beban alam, sehingga potensi bencana tidak bisa dihindari. Kondisi ini menegaskan bahwa faktor manusia dan kebijakan publik berperan penting dalam memperbesar risiko bencana.
Dalam konteks negara yang berdasarkan hukum, situasi ini tidak dapat dipisahkan dari kewajiban konstitusional negara untuk menjamin hak atas lingkungan yang sehat dan baik. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia menempatkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia setiap warga negara, sementara Pasal 33 ayat (4) menegakkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Jika kerusakan lingkungan diperbolehkan terjadi dan bencana terus berulang, masalah ini tidak hanya melibatkan aspek ekologis tetapi juga memiliki dimensi hukum dan tanggung jawab negara.
Pengalaman langsung dari komunitas yang terkena dampak menunjukkan adanya kesenjangan antara standar hukum yang berlaku dan praktik pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Berbagai peraturan telah ditetapkan untuk mencegah kerusakan lingkungan, mengatur perencanaan ruang, dan menentukan tanggung jawab negara dalam mitigasi bencana. Namun, lemahnya pengawasan izin usaha, ketidakkonsistenan kebijakan perencanaan ruang, dan penegakan hukum lingkungan yang minim menunjukkan bahwa instrumen hukum ini belum dilaksanakan secara efektif. Akibatnya, risiko bencana justru dialihkan kepada komunitas yang berada di bawah kebijakan tersebut.
Krisis Lingkungan Sumatera Sebagai Persoalan Hukum
Bencana banjir dan tanah longsor yang berulang di Sumatra tidak dapat dipahami semata-mata sebagai akibat dari kondisi geografis atau curah hujan yang tinggi. Pola kejadian yang terus berulang, serta skala kerusakan yang semakin luas menunjukkan adanya persoalan struktural yang melampaui faktor alamiah. Dalam konteks ini, bencana ekologis harus ditempatkan sebagai persoalan hukum yang berkaitan dengan tata kelola lingkungan hidup dan penyelenggaraan kewenangan negara.
Pendekatan hukum lingkungan menempatkan negara sebagai aktor utama yang memiliki kewajiban untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam. Kewajiban tersebut tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga preventif, yakni mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang dapat membahayakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Ketika kerusakan lingkungan berlangsung secara masif dan bencana, kondisi tersebut mencerminkan kegagalan sistem hukum dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pencegahan.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa alih fungsi lahan, pembukaan kawasan hutan, serta eksploitasi sumber daya alam kerap berlangsung tanpa pengawasan yang memadai. Dalam banyak kasus, kebijakan perizinan tidak diiringi dengan pengendalian yang ketat terhadap dampak lingkungan, sementara pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan hidup jarang berujung pada sanksi yang efektif. Situasi ini menandakan bahwa hukum lingkungan lebih sering diposisikan sebagai instrumen administratif semata, bukan sebagai mekanisme perlindungan substantif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dalam kerangka negara hukum, pembiaran terhadap kerusakan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab hukum pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Negara tidak hanya bertanggung jawab pada saat bencana terjadi melalui penanganan darurat dan bantuan sosial, tetapi juga bertanggung jawab secara hukum atas kebijakan dan tindakan yang memungkinkan terjadinya bencana tersebut. Dengan demikian, bencana ekologis yang berulang harus dipandang sebagai indikator adanya kelalaian dalam pelaksanaan kewenangan publik di bidang lingkungan hidup.
Penempatan krisis lingkungan sebagai persoalan hukum juga penting untuk menghindari narasi yang menyederhanakan bencana sebagai takdir alam. Narasi semacam itu berpotensi mengaburkan peran kebijakan dan melemahkan tuntutan akuntabilitas terhadap negara. Sebaliknya, dengan memandang bencana sebagai konsekuensi dari kegagalan tata kelola dan penegakan hukum, maka ruang evaluasi dan pertanggungjawaban hukum menjadi terbuka, baik melalui mekanisme administrasi, perdata, maupun hukum publik.
Kegagalan Penegakan Hukum Lingkungan Dan Dominasi Kepentingan
Meskipun kerangka normatif perlindungan lingkungan hidup telah diatur secara relatif komprehensif, praktik penegakan hukum lingkungan di berbagai daerah, termasuk Sumatra Utara, masih menunjukkan kelemahan yang mendasar. Instrumen hukum yang seharusnya berfungsi sebagai alat pengendali justru kerap tereduksi menjadi formalitas administratif. Pemberian izin usaha diberikan tanpa pengawasan yang ketat, sementara pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan sering kali tidak berujung pada sanksi yang proporsional dan menimbulkan efek jera.
Dalam konteks pembangunan daerah, kepentingan ekonomi jangka pendek cenderung memperoleh ruang yang lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan keberlanjutan lingkungan. Orientasi pembangunan yang bertumpu pada peningkatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam sering kali mengesampingkan daya dukung ekologis wilayah. Akibatnya, hukum lingkungan kehilangan fungsi preventifnya dan lebih sering hadir setelah kerusakan terjadi. Kepentingan pembangunan tersebut tercermin dalam praktik alih fungsi lahan yang berlangsung secara masif, termasuk di kawasan hutan dan daerah aliran sungai. Dalam banyak kasus, kebijakan tata ruang tidak dijadikan rujukan utama dalam pemberian izin usaha, atau bahkan disesuaikan untuk melegitimasi aktivitas ekonomi yang telah berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum tidak beroperasi sebagai batas (limit) bagi kekuasaan dan kepentingan ekonomi, melainkan justru berfungsi sebagai alat justifikasi kebijakan yang merusak lingkungan. Kelemahan penegakan hukum lingkungan juga terlihat dari minimnya penggunaan instrumen hukum yang tersedia, baik dalam bentuk sanksi administratif, perdata, maupun pidana. Padahal, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk menghentikan kegiatan yang merusak lingkungan dan menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha. Ketidaktegasan dalam menggunakan instrumen tersebut menciptakan preseden pembiaran, yang pada akhirnya mendorong pengulangan pelanggaran dan memperbesar risiko bencana.
Implikasi Yuridis Terhadap Hak Warga Negara Atas Lingkungan Yang Baik Dan Sehat
Krisis lingkungan yang memicu terjadinya bencana di berbagai wilayah Sumatra Utara membawa implikasi yuridis yang serius terhadap pemenuhan hak warga negara. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan hak fundamental yang tidak dapat dipisahkan dari hak atas kehidupan yang layak dan aman. Ketika kualitas lingkungan mengalami penurunan yang signifikan akibat kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, maka hak tersebut berada dalam kondisi terancam secara nyata.
Implikasi yuridis tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat terdampak. Kerusakan lingkungan berkontribusi terhadap hilangnya tempat tinggal, terganggunya mata pencaharian, serta meningkatnya risiko terhadap keselamatan jiwa dan kesehatan. Dalam perspektif hukum, kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan negara dalam menjalankan kewajiban pencegahan dan pengendalian kerusakan lingkungan berdampak langsung pada tidak terpenuhinya kewajiban perlindungan terhadap warga negara.
Pembiaran terhadap degradasi lingkungan berpotensi menimbulkan tanggung jawab hukum negara, baik dalam ranah hukum administrasi maupun hukum publik. Negara tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan aktif yang berakibat pada kerusakan lingkungan, tetapi juga atas kelalaian dalam menjalankan fungsi pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum. Dalam konstruksi negara hukum, kelalaian tersebut tidak dapat dipisahkan dari pelanggaran kewajiban konstitusional untuk melindungi hak-hak dasar warga negara.
Implikasi yuridis lainnya berkaitan dengan akses masyarakat terhadap keadilan lingkungan. Masyarakat terdampak kerap berada dalam posisi yang lemah untuk menuntut pertanggungjawaban, baik karena keterbatasan informasi, ketimpangan relasi kekuasaan, maupun kompleksitas mekanisme hukum yang tersedia. Ketika negara tidak secara aktif menjamin akses terhadap keadilan, maka hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat berisiko tereduksi menjadi norma deklaratif yang kehilangan daya lindungnya.
Dengan demikian, krisis lingkungan di Sumatra Utara menuntut penegasan kembali posisi hak lingkungan hidup dalam sistem hukum nasional. Hak atas lingkungan hidup tidak dapat ditempatkan sebagai kepentingan sekunder yang dikompromikan oleh agenda pembangunan, melainkan harus dipahami sebagai prasyarat fundamental bagi terwujudnya keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia.
Penutup
Krisis lingkungan yang terjadi di Sumatra Utara menunjukkan bahwa persoalan lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari persoalan hukum dan tanggung jawab negara. Kerusakan lingkungan yang berlangsung sebagai konsekuensi dari kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam mencerminkan adanya kesenjangan antara norma hukum yang berlaku dan realitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam negara hukum, kesenjangan tersebut tidak dapat dibiarkan tanpa evaluasi dan pertanggungjawaban yang jelas.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, memikul kewajiban konstitusional untuk melindungi hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kewajiban tersebut menuntut tidak hanya kehadiran negara dalam penanganan dampak, tetapi juga komitmen yang konsisten dalam pencegahan kerusakan lingkungan melalui penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Tanpa penegakan hukum yang efektif, regulasi lingkungan hidup berisiko kehilangan makna substantif dan hanya berfungsi sebagai legitimasi formal bagi kebijakan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Absori. (2015). Hukum lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Muhammadiyah University Press.
Keraf, A. S. (2010). Etika lingkungan hidup. Penerbit Buku Kompas.
Marzuki, P. M. (2011). Penelitian hukum normatif. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 41(2), 183–200.
Pramono, R., & Suryani, E. (2020). Dampak kerusakan lingkungan terhadap risiko bencana. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 5(2), 101–112.
Rahmadi, T. (2015). Hukum lingkungan di Indonesia. RajaGrafindo Persada.