Banjir Tapteng: Masalah Hujan atau Masalah Kita?

Tazki Aziz Kurniawan Baeha *
Dalam beberapa tahun terakhir, banjir besar semakin sering terjadi di berbagai wilayah Sumatra. Salah satu yang paling parah menimpa Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara. Di penghujung November 2025, hujan turun tanpa henti selama berhari-hari. Air sungai meluap, tanah longsor, dan ratusan rumah terendam. Aktivitas masyarakat lumpuh, dan banyak warga kehilangan harta benda.
Banyak yang langsung menyalahkan hujan. Memang benar, curah hujan yang ekstrem menjadi pemicu utama. Tapi, benarkah hujan satu-satunya sebab?
Kalau kita mau jujur, banjir di Tapteng bukan hanya persoalan cuaca. Ia adalah hasil dari gabungan antara fenomena alam dan tindakan manusia: bagaimana kita menebang hutan, mengatur lahan, membangun permukiman, dan mengelola sungai. Dengan kata lain, banjir bukan semata bencana alam tapi juga cerminan cara kita memperlakukan alam.
Beberapa laporan mencatat bahwa hujan deras di Tapteng berkaitan dengan sistem cuaca ekstrem Cyclone Senyar yang lewat di sekitar Selat Malaka. Namun para ahli mengingatkan, badai seperti itu hanyalah “pemicunya”. Daya rusaknya membesar karena lingkungan kita sudah lemah. Sungai kehilangan daya tampung, hutan di hulu gundul, dan tanah tak lagi mampu menyerap air.
Hujan Lebat dan Iklim yang Berubah
Hujan deras memang faktor pertama yang membuat banjir muncul. Ketika curah hujan melampaui kemampuan tanah dan sungai menampung air, limpasan permukaan meningkat dan genangan pun terbentuk.
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim global ikut memperparah kondisi ini. Suhu udara yang lebih hangat membuat atmosfer menampung lebih banyak uap air. Akibatnya, ketika hujan turun, volumenya jauh lebih besar dan sering datang berturut-turut.
Para peneliti menyebut, pola ini akan makin sering terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Jadi, banjir besar bukan semata karena cuaca buruk sesaat, tetapi karena iklim yang kini lebih tidak stabil.
Perubahan Lahan dan Hilangnya Fungsi Alam
Sebelum hujan ekstrem datang, sebenarnya Tapteng sudah berada dalam kondisi yang rawan. Hutan di kawasan hulu banyak beralih fungsi menjadi kebun, permukiman, atau bahkan area tambang kecil. Hutan yang semula menjadi “penyerap air alami” kini berubah menjadi lahan terbuka yang tidak lagi menahan air. Air hujan yang dulu meresap perlahan ke tanah, sekarang langsung mengalir deras ke sungai.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa konversi hutan menjadi lahan pertanian atau permukiman meningkatkan risiko banjir. Tanah tanpa pepohonan cepat jenuh dan kehilangan daya serap.
Selain itu, perubahan besar pada penutup lahan juga mengubah sistem drainase alami. Sungai yang dulu berkelok lembut kini lurus dan dangkal karena sedimen menumpuk dari erosi di hulu. Akibatnya, air lebih cepat naik ketika hujan datang.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang Kian Tertekan
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah jantung dari sistem air di suatu wilayah. Ketika hutan di hulu rusak, seluruh sistem ikut terdampak. Lumpur hasil erosi terbawa ke sungai, membuat dasar sungai dangkal. Aliran air pun melambat, sementara volume air meningkat kombinasi yang mematikan saat hujan deras turun.
Masalahnya bukan hanya soal alam. Pengelolaan DAS di banyak daerah masih lemah. Rehabilitasi hutan sering dilakukan secara simbolis tanpa pengawasan jangka panjang. Akibatnya, kerusakan di hulu terus berlanjut, dan setiap kali hujan besar turun, masyarakat di hilir yang harus menanggung akibatnya.
Kebijakan Pembangunan yang Kurang Bijak
Banjir di Tapteng juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan yang kadang tidak berpihak pada lingkungan. Banyak proyek dibangun di daerah rawan banjir tanpa mempertimbangkan daya dukung tanah dan sungai. Pendekatan pemerintah sering kali reaktif menyalurkan bantuan setelah banjir terjadi bukan preventif dengan memperkuat kawasan penyangga alam.
Para ahli lingkungan berpendapat, tata ruang seharusnya dirancang dengan mempertimbangkan risiko bencana. Namun dalam praktiknya, rencana pembangunan sering mengabaikan aspek ekologis. Akibatnya, wilayah semakin padat, daerah resapan air menyusut, dan banjir menjadi langganan tahunan.
Kalau hujan diibaratkan “pelatuk”, maka perusakan alam dan salah kelola ruang adalah “peluru” yang membuat bencana jadi mematikan. Banjir Tapteng terjadi bukan karena air turun terlalu banyak, tapi karena tanah dan sungai kita sudah kehilangan kemampuan menampungnya.
Dalam pandangan hidrologi modern, semua unsur hutan, tanah, sungai, dan manusia saling terhubung. Begitu salah satu rusak, sistemnya ikut terganggu.
Ketika pepohonan di hulu ditebang, air hujan tak lagi tertahan di akar. Ia langsung meluncur ke hilir, membawa lumpur, batu, dan puing. Itulah yang membuat banjir bandang bisa datang tiba-tiba dan menimbulkan kerusakan besar.
Masalah tambah rumit ketika tata ruang tidak dikendalikan. Pembangunan perumahan atau perkebunan di zona rawan banjir memperkecil ruang sungai untuk menampung air. Akhirnya, bencana bukan hanya urusan alam, tapi juga akibat pilihan pembangunan yang kurang bijak.
Perlunya Perbahan Kebijakan
Banjir di Tapanuli Tengah (Tapteng) bukan semata-mata disebabkan oleh curah hujan tinggi. Meskipun hujan menjadi pemicu utama, akar permasalahan sesungguhnya terletak pada kerusakan lingkungan dan lemahnya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali turut memperburuk kondisi ini. Hilangnya tutupan hutan, meningkatnya erosi tanah, serta sedimentasi di sungai menyebabkan air hujan sulit meresap ke dalam tanah dan cepat meluap menjadi banjir. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang masih bersifat reaktif memperparah risiko, karena tanpa tata ruang yang berbasis pada mitigasi bencana, masyarakat akan terus tinggal di wilayah rawan setiap kali musim hujan tiba.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah perlu memulihkan kembali hutan dan DAS dengan fokus pada rehabilitasi kawasan hulu menggunakan tanaman lokal serta pengawasan berkelanjutan. Tata ruang yang adaptif juga perlu dirancang, dengan setiap rencana pembangunan mempertimbangkan peta risiko banjir, bukan hanya aspek ekonomi semata. Selain itu, pelibatan masyarakat menjadi kunci penting melalui edukasi lingkungan yang mendorong warga menjaga daerah resapan air dan menghindari pembangunan di bantaran sungai. Terakhir, kerja sama lintas sektor antara pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas sangat dibutuhkan untuk melakukan riset serta aksi nyata membangun Tapteng yang lebih tangguh terhadap bencana.
Daftar Pustaka
Mongabay Indonesia. Kerusakan Ekosistem Batang Toru Perparah Banjir dan Longsor. 2025.
UGM News. Bencana Banjir Bandang Sumatra Akibat Kerusakan Ekosistem Hulu DAS. 2025.
Wikipedia. 2025 Sumatra floods and landslides. 2025.
Ardiansyah, M. Et al. (2025). Impact of Land Use and Climate Changes on Flood Inundation Areas in the Lower Cimanuk Watershed. Jurnal Ilmu Tanah & Lingkungan.
Budianto, M. B. Et al. (2024). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Banjir DAS Padolo. Dinamika Teknik Sipil.
Syahril, S. Et al. (2024). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Kerentanan Banjir. Jurnal Lingkungan Binaan & Arsitektur.
Juwono, P. T. Et al. (2025). The Dynamics Effects of Land Use Change on the Flood Hazards in Juana Watershed. ETASR.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Syahada Padangsidimpuan