Habib Khirzin: Berbagi 5 Realitas Jadi Pengacara yang Tak Diajarkan di Kampus

Bagi banyak orang, gambaran seorang pengacara terbentuk dari buku tebal, argumen dramatis di ruang sidang seperti di film, dan kehidupan yang penuh dengan logika hukum yang kaku. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih kompleks, manusiawi, dan tidak terduga. Untuk menggali lebih dalam, kita akan menjelajahi lima wawasan mengejutkan dari perjalanan seorang praktisi hukum, Habib Khirzin, S.H., seorang advokat yang juga merupakan alumni dari Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Syahada Padangsidimpuan.

Artikel ini akan menyaring pelajaran-pelajaran paling berdampak dan kontra-intuitif dari pengalamannya, memberikan gambaran unik dan jujur tentang apa artinya menjadi seorang penegak keadilan di dunia nyata.

1. Teori di Kampus vs. Realita di Lapangan: Jauh Panggang dari Api

Salah satu kejutan terbesar bagi setiap lulusan hukum adalah kesenjangan yang signifikan antara teori yang dipelajari di bangku kuliah dengan praktik yang dihadapi di lapangan. Habib Khirzin menegaskan bahwa realitas sering kali berjalan tidak seirama dengan buku teks.

Sebagai contoh konkret, ia menyoroti penanganan kasus perceraian di Pengadilan Agama, seperti cerai talak (diajukan suami) dan cerai gugat (diajukan istri). Secara teori, perbedaannya terdengar sederhana. Namun dalam praktiknya, setiap kasus adalah semesta yang unik, dipenuhi pusaran emosi, kepentingan tersembunyi, dan luka masa lalu yang tak pernah ada dalam diktat kuliah. Ini adalah momen ketika seorang sarjana hukum sadar bahwa klien sejatinya bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia yang berantakan dan tak terduga di pusat perkara. Keahlian sejati bukanlah resitasi pasal, melainkan translasi hukum—menerjemahkan teori yang kaku menjadi solusi bagi krisis manusia yang unik.

“tidak semua teori yang kita pelajari semasa kuliah dulu itu ada di praktik di lapangan terkadang memang teori itu tidak sesuai dengan praktik yang ada di lapangan… antara teori dan praktik itu sangat terkadang sangat jauh lari dari teori hidup.”

2. Bukan Cita-cita: Menjadi Pengacara Secara “Tidak Sengaja”

Mengejutkan, Habib Khirzin mengakui bahwa ia tidak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi seorang pengacara. Jalan kariernya tidak direncanakan secara teliti sejak awal, melainkan terbentuk dari sebuah kesempatan yang tidak terduga.

Titik baliknya terjadi bukan di ruang kelas, melainkan melalui pengalaman langsung. Setelah lulus, ia diajak oleh para seniornya untuk terlibat langsung menangani kasus riil atau “turun ke lapangan”. Paparan langsung terhadap dunia hukum praktis inilah yang akhirnya memicu minat dan hasratnya. Dari sanalah ia memutuskan untuk serius mengejar profesi advokat. Kisah ini menawarkan pelajaran karier yang lebih luas: terkadang, panggilan sejati tidak ditemukan melalui perencanaan yang kaku, tetapi ditempa dalam panasnya praktik dan keberanian untuk mengatakan “ya” pada peluang.

3. Ancaman dan Teror: Sisi Gelap Profesi yang Jarang Terungkap

Di balik citra profesional dan intelektual, profesi pengacara menyimpan sisi gelap yang jarang dibicarakan: risiko dan bahaya nyata. Habib Khirzin mengungkapkan bahwa seorang pengacara bisa menghadapi serangan, baik fisik maupun bentuk ancaman lainnya, dari pihak lawan dalam sebuah sengketa.

Ia berbagi pengalamannya saat menangani kasus warisan (perkara terkait dengan masalah pewarisan) dengan pertaruhan tinggi. Dalam kasus tersebut, ia menerima berbagai teror dari ahli waris pihak lawan. Ini bukan sekadar risiko abstrak; ia secara eksplisit mengaku, “kita sering diancam.” Ancaman langsung ini adalah bukti nyata dari tingginya pertaruhan.

Ini bukan sekadar bahaya pekerjaan; ini adalah kesaksian tentang taruhannya. Kehadiran ancaman mengonfirmasi bahwa pengacara tersebut sedang mengganggu dinamika kekuasaan atau menantang kepentingan yang mengakar. Dalam konteks ini, rasa takut menjadi kompas yang menunjuk ke jantung konflik, dan keberanian adalah alat yang mutlak diperlukan untuk menyelesaikannya.

“ketika kita membela klien kita itu lawan itu pasti menyerang kita baik dia secara fisik maupun secara yang lain-lain itu sudah pasti ada… banyak ancaman-ancaman banyak teror-teror dari lawan itu sudah pernah kita alami.”

4. Keunggulan Tak Terduga Lulusan Syariah: Diremehkan Namun Menguasai Dua Dunia

Lulusan dari fakultas Syariah sering kali menghadapi stereotip dan dipandang sebelah mata di dunia hukum umum. Anggapan yang sering muncul adalah, “oh itu alumni syariah… tahunya agama aja.” Namun, Habibi Khirzin membalikkan pandangan ini dan mengungkap sebuah keunggulan strategis.

Menurutnya, lulusan Syariah justru memiliki fleksibilitas intelektual yang unik. Mereka tidak hanya menguasai hukum keluarga atau hukum agama, tetapi juga mampu menguasai bidang hukum umum lainnya seperti pidana atau tata usaha negara. Sementara orang lain melihat mereka sebagai spesialis, pada kenyataannya mereka adalah seorang generalis dengan spesialisasi yang kuat. Kemampuan untuk bergerak di dua dunia hukum—sekuler dan religius—dengan kefasihan yang setara memberi mereka jangkauan yang lebih luas dari yang diperkirakan banyak orang.

“…kenyataan-nya tidak… di lapangan bisa kita lihat bahwasanya alumni dari Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum itu… dia bisa menguasai seluruh ilmu ya enggak enggak heran kita melihat bahwasanya dia basic dia dari agama dia menangani perkara-perkara pidana…”

5. Modal Utama Bukan Pintar, Tapi Berani

Jika ditanya apa aset terpenting seorang pengacara, banyak yang mungkin akan menjawab kecerdasan atau pemahaman teori yang mendalam. Namun, Habib Khirzin memberikan jawaban yang berbeda dan lebih mendasar: modal utamanya adalah keberanian (keberanian).

Ia berargumen bahwa keberanian adalah jembatan yang membawa pengetahuan teoretis melintasi jurang pemisah menuju realitas ruang sidang yang kacau. Tanpa jembatan itu, sepintar apa pun seorang advokat, ilmunya akan tetap diam dan tidak berguna. Keberanian adalah “modal awal” yang menjadi fondasi dari segalanya; tanpanya, pengetahuan yang dimiliki tidak akan pernah bisa diaplikasikan secara efektif di medan pertempuran hukum.

“modal awalnya memang yang pertama itu adalah keberanian… bagaimanapun nanti kalau dia berkaitan dengan pengacara itu di lapangan nanti kita harus berani… kalau tidak ada keberanian kita itu tidak ada gunanya.”

Sebagai pelengkap, ia juga menekankan bahwa keberanian harus dipadukan dengan kompetensi modern. Ia menyarankan mahasiswa untuk aktif membaca putusan-putusan pengadilan terdahulu dan terus mengasah kemahiran teknologi. Mengapa? Karena advokat senior yang gagap teknologi mulai “tidak relevan lagi tidak kuat lagi menghadapi zaman sekarang.” Keberanian tanpa kompetensi modern akan tumpul.

Pada akhirnya, kisah Habib Khirzin melucuti jubah mitos dari profesi hukum. Ia menggantinya dengan potret seorang praktisi yang modal utamanya bukan IQ, melainkan keberanian; yang arenanya bukan hanya ruang sidang, tetapi juga medan konflik manusiawi; dan yang kekuatannya justru lahir dari latar belakang yang kerap diremehkan. Ini adalah pengingat bahwa keadilan tidak ditempa di menara gading teori, tetapi di bengkel kenyataan yang panas dan berbahaya.