Menang Debat Nasional Hampir Tanpa Persiapan? 5 Pelajaran Mengejutkan dari Kisah Syarif Saputra
Bayangkan kamu harus bertarung di panggung debat nasional besok, tapi persiapanmu nol besar. Menyerah? Atau nekat “sistem kebut semalam”? Syarif Saputra, mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, memilih yang kedua, dan kisahnya akan mengubah caramu memandang kata “siap”.
Keberhasilannya meraih Juara 2 Lomba Debat Tingkat Nasional adalah bukti nyata bahwa keberanian untuk mencoba seringkali bisa mengalahkan keraguan. Dari pengalamannya yang penuh tekanan, kita bisa memetik beberapa pelajaran mengejutkan yang mungkin akan mengubah cara pandangmu selamanya.
1. Menaklukkan 10 Topik dalam Satu Malam: Inilah “Strategi Sangkuriang” yang Gila
Fakta paling dramatis dari kemenangan Syarif dan rekannya, Rizki, adalah mereka hampir tidak punya waktu persiapan sama sekali. Mereka harus menguasai 10 mosi (topik debat) yang berbeda dalam waktu super singkat. Alih-alih menyerah, mereka justru menerapkan apa yang disebut Syarif sebagai “strategi Sangkuriang”—menyelesaikan semuanya dalam satu malam.
Mereka tidak tidur semalaman penuh, hanya fokus membuat catatan dan mengumpulkan data mentah untuk argumen mereka.
“…pada malam hari itu itu satu malam itu kita khusus membuat ee data-data iya oret-oretan terkait apa yang mau kami sampaikan cuman oret-oretan doang data-data yang kami tuliskan gitu.”
Ini bukan sekadar begadang; ini adalah pelajaran berharga itu sendiri. Kisah mereka membuktikan bahwa keberanian untuk bertindak segera, dengan apa pun yang kamu miliki, jauh lebih kuat daripada menunggu momen “siap” sempurna yang mungkin tidak akan pernah datang.
2. Mitos Biaya Sendiri: Ternyata Kampus Membiayai Penuh
Nah, ini dia salah satu tembok terbesar yang sering bikin kamu ragu ikut kompetisi di luar kota: biaya. Banyak yang mengira harus menanggung semuanya sendiri, mulai dari tiket pesawat hingga penginapan. Namun, pengalaman Syarif membuktikan bahwa itu hanyalah mitos.
Ia menegaskan bahwa seluruh akomodasi timnya ditanggung penuh oleh pihak kampus. Rinciannya mencakup semua kebutuhan esensial: biaya perjalanan pulang-pergi, penginapan selama di Aceh, hingga konsumsi harian. Pesan dari Syarif sangat jelas: jangan pernah ragu untuk mencoba. Selama kamu punya potensi dan niat tulus untuk membawa nama baik almamater, fakultas akan siap mendukungmu.
3. Hadiah Sebenarnya Bukan Piala, Tapi Perjalanan dan Kenangan
Lomba tingkat nasional ternyata bukan hanya soal adu argumen yang menegangkan di dalam ruangan. Panitia dari Universitas Malikussaleh memastikan para finalis mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan. Sehari setelah kompetisi selesai, mereka semua diajak mengikuti field trip ke Takengon, Aceh Tengah.
Seluruh finalis dari berbagai cabang lomba diajak “main-main satu hari full”, menikmati keindahan alam, dan bahkan merasakan serunya bermain arung jeram bersama. Di sinilah kamu sadar bahwa hadiah sebenarnya dari sebuah kompetisi tidak selalu berbentuk piala. Pengalaman baru, perjalanan ke tempat asing, dan kesempatan membangun jaringan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia adalah kemenangan tersendiri yang jauh lebih berharga.
4. Dihantui Lawan & Ekspektasi: Cara Mengubah Tekanan Jadi Tenaga Jet
Bayangkan suasana tegang di kamar hotel malam sebelum pertandingan. Syarif dan rekannya baru tahu bahwa teman sekamar mereka adalah finalis dari universitas lain. Kemudian, saat berbincang dengan peserta lain keesokan paginya, jantung mereka seakan berhenti berdetak saat lawan bicaranya dengan santai mengaku sudah pernah menjuarai lomba debat sebelumnya. Syarif dan Rizki hanya bisa saling bertukar pandangan—sebuah tatapan diam yang sarat akan rasa gugup.
Puncaknya, poster-poster dukungan dari teman-teman organisasinya di kampus yang dikirim via online terasa sebagai “beban moral” yang berat. Mereka tidak boleh pulang dengan tangan hampa.
Namun, alih-alih hancur di bawah tekanan, mereka justru menjadikannya bahan bakar. Beban moral dan rasa gentar itu menjadi alasan mereka memaksimalkan “Strategi Sangkuriang” malam itu. Tekanan tersebut seolah menjadi tenaga jet yang mendorong mereka untuk berusaha melampaui batas. Mereka mengadopsi pola pikir seorang juara:
“…sudah kita maksimalkan saja kita berusaha intinya ee beraj kan untuk juara juara ma bonus gitu kan.”
Mereka fokus pada usaha terbaik, dan menganggap hasil akhir sebagai bonus.
5. Ada “British” dan “Asian”: Mengenal Format Debat yang Berbeda
Bagi yang belum familiar, dunia debat ternyata punya beragam format dengan aturan main yang berbeda. Syarif menjelaskan bahwa kompetisi yang ia ikuti memakai format British Parliamentary, yang cukup berbeda dari format Asian Parliamentary yang lebih umum dikenal di Indonesia.
Berikut perbedaan mendasarnya:
- Jumlah Tim: Format British melibatkan 4 tim sekaligus dalam satu sesi (dua tim pro dan dua tim kontra), sementara format Asian hanya mempertemukan 2 tim (satu pro, satu kontra).
- Jumlah Anggota: Satu tim dalam format British terdiri dari 2 orang, sedangkan tim Asian terdiri dari 3 orang.
- Aturan Interupsi: Dalam format British, interupsi sangat diatur—umumnya hanya pembicara kedua dari tim lawan yang boleh melakukannya. Ini berbeda dengan format Asian yang aturannya lebih bebas, memungkinkan adu argumen yang lebih langsung.
Pelajaran ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal teknis sekalipun, selalu ada hal baru yang bisa kita pelajari saat kita berani melangkah keluar dari zona nyaman.
Kisah Syarif Saputra mengajarkan kita sebuah pesan yang sangat kuat: prestasi besar seringkali tidak dimulai dari persiapan yang sempurna, melainkan dari keberanian untuk mengambil langkah pertama. Ia membuktikan bahwa tekad yang kuat, mentalitas yang positif, dan kemauan untuk belajar bisa mengalahkan keterbatasan waktu dan rasa takut.
Setelah membaca kisah ini, langkah kecil apa yang akan kamu ambil hari ini untuk berhenti ragu dan mulai mencoba?