Perlindungan Hukum Lingkungan di Indonesia di Tengah Krisis Ekologis

Oleh: Alwi Paisal Idris Fardani Rkt, Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syahada Padangsdimpuan

Isu lingkungan hidup terus menjadi tantangan hukum dan kebijakan yang mendesak di Indonesia, khususnya di tengah fenomena perubahan iklim global dan krisis ekologis. Bencana banjir dan longsor besar-besaran di Sumatra pada akhir 2025 menunjukkan urgensi perlindungan hukum lingkungan yang belum sepenuhnya memadai, terutama dalam konteks partisipasi masyarakat dan penegakan aturan hukum.

Perlindungan lingkungan tidak hanya bergantung pada norma tertulis semata, tetapi juga bagaimana sistem hukum dan lembaga peradilan menempatkan manusia dan ekosistem sebagai subjek yang mendapatkan hak dan perlindungan substantif. Perlindungan hukum lingkungan di Indonesia harus merefleksikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan perlindungan hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, melalui penegakan hukum yang efektif dan partisipasi publik yang substantif.

Krisis ekologis telah menjadi isu global yang menempatkan lingkungan hidup sebagai salah satu objek perlindungan hukum paling strategis dalam sistem hukum modern. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menghadapi paradoks antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan kewajiban konstitusional untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam beberapa dekade terakhir, degradasi lingkungan menunjukkan kecenderungan meningkat, baik akibat eksploitasi sumber daya alam, lemahnya penegakan hukum, maupun keterbatasan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan.

Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin serta berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketentuan ini menempatkan perlindungan lingkungan bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan kewajiban konstitusional negara.

Namun, dalam praktiknya, perlindungan hukum lingkungan sering kali berhadapan dengan berbagai kendala struktural. Aparatur negara sebagai pelaksana kebijakan lingkungan tidak selalu bertindak optimal, sementara partisipasi publik yang dijamin secara normatif belum sepenuhnya terwujud secara substantif. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas hukum lingkungan dalam merespons krisis ekologis yang semakin kompleks.

Artikel opini hukum ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum lingkungan di Indonesia dengan menyoroti peran aparatur negara dan partisipasi publik sebagai dua pilar utama dalam mewujudkan keadilan ekologis. Analisis ini penting untuk menilai sejauh mana sistem hukum lingkungan Indonesia mampu menjawab tantangan krisis ekologis kontemporer.

Kerangka Normatif Perlindungan Hukum Lingkungan di Indonesia

Secara normatif, perlindungan lingkungan hidup di Indonesia telah memiliki landasan hukum yang relatif komprehensif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjadi instrumen utama yang mengatur prinsip, hak, kewajiban, serta mekanisme penegakan hukum lingkungan. UU ini menegaskan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), serta prinsip partisipasi masyarakat.

Selain itu, pengaturan mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan instrumen perizinan lingkungan dirancang sebagai mekanisme pencegahan kerusakan lingkungan sejak tahap perencanaan kegiatan usaha. Dalam perspektif hukum administrasi lingkungan, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap aktivitas pembangunan tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pada tataran konstitusional, Mahkamah Konstitusi melalui berbagai putusannya telah menegaskan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk perlindungan lingkungan hidup. Dengan demikian, norma hukum lingkungan di Indonesia tidak hanya bersifat sektoral, tetapi terintegrasi dalam kerangka hukum tata negara dan hak asasi manusia. Meskipun kerangka normatif tersebut telah tersedia, efektivitas perlindungan hukum lingkungan sangat bergantung pada implementasi dan konsistensi penegakan hukum oleh aparatur negara.

Kegagalan Penegakan Hukum Lingkungan Dan Dominasi Kepentingan

Meskipun kerangka normatif perlindungan lingkungan hidup telah diatur secara relatif komprehensif, praktik penegakan hukum lingkungan di berbagai daerah, termasuk Sumatra Utara, masih menunjukkan kelemahan yang mendasar. Instrumen hukum yang seharusnya berfungsi sebagai alat pengendali justru kerap tereduksi menjadi formalitas administratif. Pemberian izin  usaha diberikan tanpa pengawasan yang ketat, sementara pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan sering kali tidak berujung pada sanksi yang proporsional dan menimbulkan efek jera.

Dalam konteks pembangunan daerah, kepentingan ekonomi jangka pendek cenderung memperoleh ruang yang lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan keberlanjutan lingkungan. Orientasi pembangunan yang bertumpu pada peningkatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam sering kali mengesampingkan daya dukung ekologis wilayah. Akibatnya, hukum lingkungan kehilangan fungsi preventifnya dan lebih sering hadir setelah kerusakan terjadi. Kepentingan pembangunan tersebut tercermin dalam praktik alih fungsi lahan yang berlangsung secara masif, termasuk di kawasan hutan dan daerah aliran sungai. Dalam banyak kasus, kebijakan tata ruang tidak dijadikan rujukan utama dalam pemberian izin usaha, atau bahkan disesuaikan untuk melegitimasi aktivitas ekonomi yang telah berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum tidak beroperasi sebagai batas (limit) bagi kekuasaan dan kepentingan ekonomi, melainkan justru berfungsi sebagai alat justifikasi kebijakan yang merusak lingkungan. Kelemahan penegakan hukum lingkungan juga terlihat dari minimnya penggunaan instrumen hukum yang tersedia, baik dalam bentuk sanksi administratif, perdata, maupun pidana.

Padahal, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk menghentikan kegiatan yang merusak lingkungan dan menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha. Ketidaktegasan dalam menggunakan instrumen tersebut menciptakan preseden pembiaran, yang pada akhirnya mendorong pengulangan pelanggaran dan memperbesar risiko bencana.

Peran Aparatur Negara Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Aparatur negara memegang peran sentral dalam perlindungan hukum lingkungan, baik sebagai regulator, pengawas, maupun penegak hukum. Kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, serta aparat penegak hukum memiliki kewenangan strategis dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dan menindak pelanggaran lingkungan.

Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum lingkungan sering menghadapi berbagai hambatan. Pertama, masih terdapat kecenderungan pendekatan administratif yang bersifat formalistik, di mana kepatuhan terhadap prosedur perizinan dianggap cukup tanpa evaluasi substantif terhadap dampak ekologis. Kedua, lemahnya koordinasi antarinstansi sering kali mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakjelasan tanggung jawab.

Ketiga, faktor kepentingan ekonomi dan politik tidak jarang mempengaruhi kebijakan lingkungan. Dalam beberapa kasus, aparat negara justru menjadi bagian dari problem struktural ketika pengawasan terhadap kegiatan yang merusak lingkungan tidak dilakukan secara tegas. Kondisi ini berimplikasi pada rendahnya efek jera terhadap pelaku perusakan lingkungan.

Dalam konteks ini, penegakan hukum lingkungan memerlukan transformasi paradigma aparatur negara dari sekadar pelaksana regulasi menjadi penjaga kepentingan ekologis dan hak publik. Tanpa integritas dan kapasitas aparatur negara yang memadai, perlindungan hukum lingkungan akan sulit mencapai tujuan keadilan ekologis.

Partisipasi Publik sebagai Pilar Keadilan Lingkungan

Partisipasi publik merupakan elemen fundamental dalam hukum lingkungan modern. UU PPLH menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, serta mengajukan keberatan atau gugatan atas kebijakan yang berpotensi merugikan lingkungan. Partisipasi ini mencerminkan prinsip demokrasi lingkungan (environmental democracy).

Namun, realitas menunjukkan bahwa partisipasi publik sering kali bersifat simbolik. Proses konsultasi publik dalam penyusunan AMDAL, misalnya, tidak jarang dilakukan secara terbatas dan kurang inklusif. Masyarakat terdampak sering menghadapi kendala akses informasi, ketimpangan pengetahuan, serta tekanan sosial dan ekonomi yang membatasi keberanian untuk menyampaikan keberatan.

Padahal, partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) memiliki peran penting dalam mencegah kerusakan lingkungan sejak dini. Keterlibatan masyarakat dapat menjadi mekanisme kontrol sosial terhadap kebijakan dan tindakan aparatur negara. Selain itu, partisipasi publik juga berkontribusi pada legitimasi kebijakan lingkungan dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, penguatan partisipasi publik tidak dapat dipisahkan dari upaya reformasi hukum lingkungan. Negara harus memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya diakui secara normatif, tetapi juga difasilitasi secara substantif dan efektif.

Krisis Ekologis dan Tantangan Keadilan Lingkungan

Krisis ekologis yang dihadapi Indonesia mencerminkan adanya kesenjangan antara norma hukum dan praktik implementasi. Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan sosial, terutama bagi kelompok masyarakat rentan yang bergantung langsung pada sumber daya alam.

Dalam perspektif keadilan lingkungan (environmental justice), perlindungan hukum lingkungan harus memastikan distribusi manfaat dan beban lingkungan yang adil. Aparatur negara dan sistem hukum dituntut untuk melindungi kepentingan publik jangka panjang, bukan sekadar kepentingan ekonomi sesaat.

Peran peradilan menjadi sangat penting dalam konteks ini. Putusan pengadilan yang progresif dan berorientasi pada perlindungan lingkungan dapat menjadi instrumen korektif terhadap kebijakan yang tidak ramah lingkungan. Namun, hal ini memerlukan keberanian hakim untuk menafsirkan hukum secara kontekstual dan responsif terhadap krisis ekologis.

Penutup

Perlindungan hukum lingkungan di Indonesia di tengah krisis ekologis merupakan tantangan multidimensional yang melibatkan aspek normatif, institusional, dan partisipatif. Aparatur negara dan partisipasi publik merupakan dua elemen kunci yang saling melengkapi dalam mewujudkan keadilan lingkungan.

Kerangka hukum lingkungan yang telah tersedia perlu diimplementasikan secara konsisten dan berorientasi pada perlindungan ekosistem serta hak konstitusional warga negara. Penguatan integritas dan kapasitas aparatur negara, disertai dengan partisipasi publik yang bermakna, menjadi prasyarat utama untuk menjawab krisis ekologis yang semakin kompleks.

Dengan demikian, perlindungan hukum lingkungan tidak hanya menjadi wacana normatif, tetapi harus diwujudkan sebagai praktik hukum yang nyata, adil, dan berkelanjutan demi kepentingan generasi kini dan mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, F., et al. (2023). Hukum Lingkungan dan Penegakannya di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

Asshiddiqie, J. (2015). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Keraf, A. S. (2014). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (berbagai putusan). Putusan terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Siahaan, N. H. T. (2018). Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.